MENSYUKURI KESAMAAN
- Rincian
- Diterbitkan hari Kamis, 09 Februari 2017 00:00
- Ditulis oleh Eko Elliarso
- Dibaca: 10934 kali
Baca: Roma 12:9-21
“Sedapat-dapatnya, kalau hal itu bergantung padamu, hiduplah dalam perdamaian dengan semua orang!” (Roma 12:18)
Bacaan Alkitab Setahun:
Imamat 22-23
Sarasehan itu bertema “Damai”. Para pembicara adalah para pemuka agama Kristen, Katolik, Islam, Hindu, dan Buddha . Para pembicara—yang berbeda agama maupun kitab suci itu—ternyata mengatakan hal yang intinya sama: manusia memerlukan damai, Tuhan menghendaki damai hadir di bumi, dan damai hadir hanya jika manusia menghidupi relasi yang baik dengan sesama, alam, diri sendiri, dan Tuhan.
Ketika fakta itu saya ceritakan kepada seorang kawan, reaksinya amat mengejutkan. Bukan ungkapan syukur, melainkan pertanyaan yang tajam, “Kalau begitu, apa bedanya Kristen dan bukan Kristen?”
Tidak ada agama yang sama. Itu fakta. Tetapi, adanya titik-titik kesamaan adalah fakta juga, seperti nyata pada sarasehan itu. Ketika kita berjumpa dengan titik kesamaan, patutkah kita mengingkarinya? Mengapa kita merasa harus berbeda? Bukankah titik kesamaan itu adalah anugerah, peluang emas bagi titik pijak karya bersama, yang mesti kita syukuri? Ketaksediaan menghormati perbedaan telah banyak melukai bangsa kita. Itu amat buruk. Tetapi, agaknya, keadaan lebih buruk dari itu. Mengapa? Karena: berbeda kita tak suka, sama pun kita tak rela. Dari mana damai berpeluang datang?
“Sedapat-dapatnya,... hiduplah dalam perdamaian dengan semua orang”, pesan Tuhan lewat Rasul Paulus. “Sedapat-dapatnya”, artinya: semaksimal mungkin, sekuat tenaga. Damai harus diusahakan dengan serius, dengan segenap daya. Mengakui dan mensyukuri titik kesamaan yang ada, bahkan mencarinya, adalah salah satu tanda keseriusan itu. —EE
SEPERTI KETAKSEDIAAN MENGHORMATI PERBEDAAN, PENGINGKARAN
ATAS KESAMAAN ADALAH PENOLAKAN TERHADAP DAMAI
Anda diberkati melalui Renungan Harian?
Jadilah berkat dengan mendukung pelayanan kami.
Rek. Renungan Harian BCA No. 456 500 8880 a.n. Yayasan Gloria